Pensiun pembangkit listrik batu bara di Indonesia pada 2040 membutuhkan peningkatan EBT | Ember

Pensiun pembangkit listrik batu bara di Indonesia pada 2040 membutuhkan peningkatan EBT

Tersedia dalam: English

4 Desember 2024
12 menit baca

Indonesia menargetkan pensiun pembangkit listrik berbahan bakar batu bara pada 2040

Dengan meningkatkan porsi energi baru dan terbarukan menjadi 65% pada tahun 2040, dan mengurangi kapasitas batu bara sebesar 3 GW per tahun, Indonesia dapat mencapai target tersebut.

Target pensiun penggunaan pembangkit listrik berbasis batu bara (PLTU) pada tahun 2040 yang disampaikan oleh Presiden Prabowo di G20 menandakan bahwa negara konsumen batu bara terbesar di Asia Tenggara ini akan mempercepat produksi energi baru dan terbarukan (EBT) dan mencanangkan kebijakan yang mendukung EBT. Namun, tanpa perubahan sistemik, terutama di sektor listrik, perekonomian Indonesia tidak akan mencapai target dekarbonisasi ini. Untuk itu, Indonesia perlu menyelaraskan jumlah pasokan EBT yang diperlukan dengan pertumbuhan konsumsi listrik hingga tahun 2040. 

Baru-baru ini, Indonesia memajukan targetnya untuk mengurangi emisi karbon dan mencapai emisi nol pada tahun 2050 (sebelumnya ditetapkan pada tahun 2060). Namun, ketergantungan historis pada tenaga fosil, serta adanya mandat harga batu bara domestik, membuat Perusahaan Listrik Negara (PLN) harus segera mencari dukungan pendanaan untuk menghentikan pembangkit listrik batu bara dan membiayai penggantinya dengan alternatif yang lebih bersih seperti energi panas bumi, air, tenaga surya, dan bioenergi.

Untuk mencapai target tersebut, Indonesia perlu merencanakan pembangunan pembangkit listrik berbasis EBT dalam jumlah besar. Dalam hal ini, tenaga surya (dikombinasikan dengan baterai) merupakan teknologi yang paling memungkinkan, sementara bioenergi adalah paling mahal.

 

Indonesia perlu meningkatkan ambisi EBT

Dengan permintaan listrik yang diproyeksikan tumbuh sekitar 5% per tahun, Indonesia membutuhkan energi bersih EBT untuk memenuhi kebutuhan sektor industri dan komersialnya. Peningkatan energi surya, dikombinasikan dengan penyimpanan baterai untuk memaksimalkan pemanfaatannya, dapat memberikan peluang yang signifikan, terutama karena Perusahaan Listrik Negara (PLN) berencana untuk mengakomodasi lebih banyak penggunaan EBT yang bervariasi melalui jaringan listrik pintar yang terkoneksi secara digital.

Rancangan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) untuk tahun 2024-2033 memproyeksikan penambahan kapasitas gas sebesar 22 GW dan kapasitas nuklir sebesar 5 GW, yang mengindikasikan adanya alternatif lain selain batu bara. Selain itu, target Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP) yang tercantum dalam dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) 2023 lebih menekankan peran EBT, dengan porsi yang lebih besar pada tenaga surya, angin, panas bumi, bioenergi, dan hidro pada tahun 2040. Target ini berarti Indonesia dapat memenuhi proyeksi kebutuhan listrik sebesar 806 TWh pada tahun 2040, jika pangsa EBT mencapai 65%. Tenaga surya akan menyumbang 20%, angin 11%, dan EBT lainnyaseperti nuklir, panas bumi, bioenergi, dan hidroakan mencapai 34%. Perhitungan ini mencakup kapasitas baterai sebesar 68 GWh pada aplikasi stasioner untuk menstabilkan output energi surya, berdasarkan beberapa parameter utama termasuk efisiensi, faktor pemanfaatan kapasitas untuk pembangkit listrik tenaga surya, dan jam penyimpanan.

Pensiun PLTU pada 2040 dapat dimulai dengan penurunan kapasitas sebesar 3 GW per tahun hingga 2040

Menurut Utusan Khusus untuk COP29, Indonesia menargetkan penambahan kapasitas EBT sebesar 75 GW pada tahun 2040. Untuk mencapai target ini sekaligus merealisasikan target pensiun penggunaan batu bara secara penuh pada tahun yang sama, kapasitas gas akan meningkat hampir lima kali lipat dari 21 GW menjadi 108 GW. Selain berisiko, investasi tenaga gas juga kontraproduktif karena tidak sebanding dengan manfaat yang dapat diperoleh dari tenaga surya, khususnya di negara berkembang. Investasi pendapatan publik terhadap gas dan perluasan infrastruktur bahan bakar fosil juga tidak konsisten dengan masa depan yang menuntut peralihan dari bahan bakar fosil. 

Jalur yang lebih tepat adalah menambahkan kapasitas energi bersih EBT sebesar 8 GW setiap tahun, sambil menurunkan kapasitas pembangkit batu bara sebesar 3 GW per tahun untuk sistem tenaga listrik on-grid terkoneksi ke jaringan listrik PLN, dengan target pensiun PLTU secara menyeluruh pada tahun 2040. Selain itu, pengintegrasian penyimpanan baterai sebesar 4 GWh setiap tahun hingga tahun 2040 akan memungkinkan Indonesia untuk memaksimalkan penggunaan tenaga surya, karena beban puncak listrik pada malam hari. Jalur ini sejalan dengan tujuan EBT yang diuraikan dalam dokumen JETP CIPP dan proyeksi penambahan kapasitas listrik Pemerintah sebesar 103 GW pada tahun 2040.

Langkah kunci pencapaian ambisi 2040

Pemerintah Indonesia telah menyadari pentingnya melakukan dekarbonisasi pasokan listrik. Pertanyaan pentingnya sekarang adalah: Bagaimana cara mempercepat proses ini? Realisasi dekarbonisasi secara sepenuhnya membutuhkan lebih dari sekadar pemasangan panel surya dan turbin angin yang mengandalkan sinar matahari dan angin. Tindakan nyata diperlukan untuk mengekspansi adopsi  EBT, serta memastikan bahwa teknologi tersebut mendapatkan momentum yang diperlukan untuk mendorong transisi ke depan. 

“Indonesia berada di titik penentu untuk mengakhiri penggunaan batu bara pada 2040. Bahan baku untuk komponen baterai menjadi kekuatan utama Indonesia dalam mendukung kapasitas penyimpanan energi terbarukan. Hal ini menghadirkan potensi besar untuk mengintegrasikan energi surya dengan baterai, yang akan memfasilitasi transisi menuju ekonomi hijau.”

“Sebagai pembangkit listrik tenaga batu bara terbesar kelima di dunia, ambisi Indonesia untuk memensiunkan PLTU pada 2040 adalah titik balik signifikan. Untuk mencapainya, Indonesia perlu mempercepat ekspansi EBT dan merumuskan kebijakan transisi yang adil. Ini adalah tantangan yang berat, namun merupakan peluang bagi Indonesia untuk mewujudkan perekonomian yang berkelanjutan dan juga berpotensi mengubah penggunaan batu bara global.”

Untuk mempercepat transisi energi, berikut adalah rekomendasi utama yang kami usulkan:

  1. Keterlibatan sektor swasta yang lebih besar: Memperkuat peran swasta di sektor kelistrikan dapat membuka peluang pendanaan yang cukup besar untuk transisi energi bersih di Indonesia. Negara-negara Asia Tenggara seperti Viet Nam, Malaysia, dan Thailand telah memperkenalkan kebijakan yang mendukung pembelian listrik berbasis EBT secara langsung oleh perusahaan-perusahaan, sehingga meningkatkan daya saing EBT terhadap bahan bakar fosil. Untuk Indonesia, keterlibatan sektor swasta dapat diperluas dengan mengatur listrik bersih untuk instalasi captive yang memasok industri, serta menerapkan kebijakan untuk mengatasi risiko proyek bagi off-taker dan menjawab ketidakpastian seputar reformasi sektor kelistrikan. 
  2. Pengintegrasian penyimpanan energi untuk memaksimalkan penggunaan tenaga surya: Menerapkan sistem penyimpanan listrik sangat penting untuk meningkatkan pemanfaatan energi surya, mengatasi masalah listrik intermiten dan memastikan keandalan pasokan listrik EBT. Saat ini, pemerintah belum memiliki kerangka kerja khusus untuk mengimplementasikan sistem penyimpanan baterai, kecuali untuk dimasukkan ke dalam struktur tarif baru, di bawah Peraturan Presiden nomor 112 tahun 2022, yang membatasi biaya penyimpanan sistem penyimpanan baterai sebesar 60% dari tarif dasar. 
  3. Penyusunan kerangka kerja peraturan yang komprehensif untuk menentukan PLTU yang akan dipensiunkan lebih awal: Informasi yang lebih terperinci mengenai PLTU mana yang akan dihentikan, dalam kategori apa, dan kapan waktunya, merupakan hal yang sangat penting untuk sebuah rencana yang komprehensif. Merujuk pada pengumuman pemerintah untuk memensiunkan 13 PLTU secara dini, selain PLTU di Cirebon, sebagian besar PLTU lainnya yang teridentifikasi telah beroperasi selama 28 hingga 40 tahuntermasuk PLTU di Suralaya, Paiton, dan Ombilin. 
  4. Pengembangan rencana diversifikasi ekonomi untuk provinsi-provinsi yang memiliki PLTU: Menciptakan strategi diversifikasi ekonomi untuk daerah-daerah yang bergantung pada PLTU, mendorong industri baru dan menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi dampak sosial dari transisi energi. Pengambilan keputusan energi di tingkat provinsi yang bergantung pada batu bara ini harus melibatkan partisipasi aktif dari pemerintah pusat dan daerah, bersama dengan perwakilan masyarakat, untuk memastikan transisi energi yang adil dan inklusif.
  5. Peningkatan konektivitas jaringan untuk berbagi sumber daya: Meningkatkan infrastruktur jaringan untuk memfasilitasi pembagian sumber daya terbarukan di seluruh wilayah Indonesia, dengan mengoptimalkan distribusi energi dan meningkatkan fleksibilitas sistem.
  6. Peningkatan fleksibilitas batu bara: Mendesain ulang kewajiban kontrak antara PLN dan produsen listrik untuk memfasilitasi pensiun dini PLTU, sehingga memberikan fleksibilitas yang lebih besar untuk mengintegrasikan lebih banyak EBT. Penyesuaian batasan harga dan kewajiban pasar domestik untuk PLTU juga diperlukan untuk memungkinkan realokasi anggaran yang dapat memberikan insentif bagi EBT dan meningkatkan daya saingnya.
  7. Mengamankan dukungan keuangan untuk pensiun dini batu bara: Untuk mewujudkan pensiun dini PLTU, dukungan keuangan yang dirancang khusus untuk mewujudkan rencana ini harus tersedia. Hal ini membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, pemilik pembangkit listrik, pemodal dan dunia internasional untuk mengembangkan solusi yang layak. 
  8. Memasukkan batu bara captive dalam rencana pensiun dini: Memastikan strategi penghentian penggunaan batu bara mencakup penggunaan batu bara captive yang tidak terhubung ke jaringan kelistrikan PLN untuk memungkinkan transisi ke energi bersih yang lebih luas dan komprehensif. CREA dan GEM memperkirakan bahwa kapasitas listrik tenaga batu bara captive akan mencapai 26,2 GW pada tahun 2026, yang besarnya lebih dari setengahnya total kapasitas batu bara on-grid pada tahun 2023. 

Pemensiunan PLTU secara bertahap hingga tahun 2040 akan memposisikan Indonesia untuk mencapai target iklim global 1,5C. Hal ini menandai sebuah langkah signifikan menuju masa depan yang berkelanjutan dan rendah karbon. Dengan melakukan transisi ini, Indonesia tidak hanya berkontribusi pada tujuan iklim global, tetapi juga menyiapkan sistem energi yang lebih tangguh dan terdiversifikasi, mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan memastikan stabilitas lingkungan.

Selain itu, penggunaan lebih banyak EBT oleh Indonesia dapat membawa manfaat berupa ekspansi peluang kerja di sektor energi terbarukan, menarik lebih banyak investasi ramah lingkungan, dan mendapatkan akses ke sumber listrik yang lebih murah, lebih bersih, dan lebih berkelanjutan.

Materi pendukung

Metodologi

Angka-angka pangsa pembangkitan dan kapasitas untuk periode yang sama diestimasi dengan menggunakan interpolasi linier antara pangsa pembangkitan yang ada dan nilai kapasitas terpasang untuk tahun 2023, bersama dengan pertumbuhan permintaan listrik tahunan sebesar 5% dari tahun 2024 hingga 2040. Rinciannya adalah sebagai berikut:

Kapasitas baterai untuk proyek tenaga surya dihitung dengan menggunakan parameter utama, seperti efisiensi sistem baterai (memperhitungkan kehilangan energi selama pengisian dan pengosongan), faktor pemanfaatan kapasitas (capacity utilisation factor/CUF) untuk pembangkit listrik tenaga surya (diasumsikan 22% dari kapasitas penuh yang digunakan setiap hari), dan durasi di mana baterai dapat memasok listrik dengan kapasitas penuh. Kapasitas baterai dalam gigawatt-jam (GWh) diperoleh dengan mengalikan kapasitas baterai dalam gigawatt (GW) dengan durasi penyimpanan yang diasumsikan selama 4 jam. 

Pembangkitan energi terbarukan diperkirakan menggunakan faktor kapasitas dari katalog teknologi sektor listrik.

Ucapan terima kasih

Gambar sampul

Deretan turbin angin di lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Angin Sidrap di Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, Indonesia

Kredit: Yermia Riezky Santiago / Alamy Stock Photo

Konten terkait

Lihat semua
Bagikan