Ekspansi energi bersih Indonesia dapat mendorong pertumbuhan dan kesetaraan
Meningkatkan ambisi energi terbarukan dan alokasi proyek energi terbarukan yang berkeadilan dapat mengurangi emisi dari bahan bakar fosil dan membantu membuat transisi lebih adil.
Tersedia dalam: English
Isi
Sorotan
Ringkasan eksekutif
Kapasitas energi bersih Indonesia perlu ditingkatkan dengan cepat untuk mengakhiri ketergantungan pada bahan bakar fosil
Meningkatkan ambisi energi terbarukan berarti tambahan batu bara tidak diperlukan untuk memenuhi permintaan listrik di Indonesia yang terus meningkat pada tahun 2030, sehingga mendukung transisi energi di provinsi penghasil batu bara.
Sudah 10 tahun sejak Indonesia memperkenalkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) pada tahun 2014, yang membahas manajemen penawaran dan permintaan, termasuk konservasi, diversifikasi, dan efisiensi. Tahun ini, pemerintah akan meluncurkan KEN baru yang memperluas langkah untuk meningkatkan keamanan energi dan mendorong transisi energi dengan tujuan mencapai puncak emisi pada tahun 2035 dan mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060. Namun, target energi terbarukan diperkirakan akan berkurang dari 23% menjadi 17-19% pada tahun 2025.
Data terbaru dari tahun 2023 menunjukkan bahwa bahan bakar fosil menyumbang 81% listrik Indonesia, yang merupakan porsi terbesar dalam pembangkitan listrik. Penggunaan bahan bakar fosil, khususnya batu bara, telah meningkat secara signifikan dalam 10 tahun terakhir. Hal ini menyebabkan emisi sektor tenaga listrik meningkat tajam, yaitu sebanyak 86 juta ton CO2 (MtCO2) antara 2023 dan 2013.
Berdasarkan RUPTL, kapasitas energi terbarukan sebesar 21 GW akan ditambahkan antara tahun 2021 dan 2030. Target JETP akan menambahkan kapasitas energi terbarukan sebesar 36 GW ke sistem energi Indonesia, yang akan memainkan peran penting dalam penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi lokal.
Mengalokasikan pembangunan proyek energi terbarukan ke daerah penghasil batu bara akan memberikan manfaat besar bagi pemerintah, industri, dan warga, sehingga Indonesia lebih adil dalam meredam dampak transisi energi. Program yang ada, yang mencakup proyek energi terbarukan sebesar 2,7 GW di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan, diperkirakan oleh Ember dapat menciptakan 50.000 lapangan pekerjaan dan menarik investasi sebesar 4,3 miliar USD. Pengembangan lebih lanjut proyek tenaga surya 5,8 GW dan pembatalan kapasitas batu bara baru dapat menciptakan 46.000 lapangan pekerjaan tambahan dan meningkatkan investasi pada proyek energi terbarukan hingga dua kali lipat.
Poin-poin utama
Pembangkitan listrik di Indonesia dari bahan bakar fosil meningkat 50% dalam satu dekade terakhir
Pembangkitan listrik dari bahan bakar fosil, terutama batu bara, telah meningkat dari 190 TWh pada tahun 2013 menjadi 285 TWh pada tahun 2023. Hal ini didorong oleh peran pentingnya dalam strategi energi Indonesia dan pengembangan kapasitas batu bara di bawah rencana pembangunan infrastruktur kelistrikan. Selama periode yang sama, pembangkitan energi terbarukan meningkat dari 36 TWh menjadi 65 TWh.
Meningkatkan faktor kapasitas pembangkit batu bara dapat menghindari 42 TWh pasokan listrik berlebih
Berdasarkan RUPTL, permintaan listrik mungkin akan tumbuh sekitar 4,7% antara tahun 2023 dan 2030, sehingga mencapai 445 TWh pada tahun 2030. Jika faktor kapasitas pembangkit batu bara dapat dinaikkan dari 49% di tahun 2023 menjadi 64% di tahun 2030, maka pembangkitan listrik akan melampaui permintaan sebesar 42 TWh. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia adanya resiko stranded assets dari kapasitas batubara berlebih.
Program energi terbarukan dapat membantu mengubah perekonomian daerah penghasil batu bara
Daerah penghasil batu bara, meliputi Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan, menghasilkan sekitar 30 juta ton setara CO2 (MtCO2e) dari metana penambangan batu bara dan pembangkit listrik tenaga batu bara. Daerah tersebut juga menghadapi risiko kehilangan pekerjaan karena penutupan tambang. Dengan memanfaatkan proyek energi terbarukan yang ada sebesar 2,7 GW dan memperluas proyek tenaga surya sebesar 5,8 GW, daerah tersebut dapat mengurangi emisi, menarik investasi lebih dari 9,4 miliar USD, dan menciptakan 96.000 lapangan pekerjaan berketerampilan tinggi.
Titik awal
Kondisi energi Indonesia setelah satu dekade menunjukkan peningkatan signifikan dalam penggunaan batu bara
Penggunaan batu bara di sektor tenaga listrik dalam 10 tahun terakhir telah meningkat hampir dua kali lipat, sehingga berkontribusi terhadap lonjakan dalam emisi sektor listrik secara keseluruhan, yaitu 86 juta ton CO2 (MtCO2) dari tahun 2013 hingga 2023. Sebagian besar dari emisi tersebut berasal dari batu bara.
Indonesia belum mengalami peningkatan pesat dalam energi terbarukan, sehingga bahan bakar fosil menjadi bahan bakar yang memenuhi pertumbuhan permintaan listriknya. KEN 2014 menetapkan target energi terbarukan sebesar 23% dalam bauran energi pada tahun 2025. Namun, target tersebut kemungkinan akan diturunkan menjadi 17-19% dalam revisi KEN yang sedang disusun.
Kenyataannya, pertumbuhan kapasitas energi terbarukan belum maksimal. Antara tahun 2018 dan 2023, Indonesia hanya menambahkan 3,3 GW energi terbarukan, sehingga totalnya menjadi 13 GW pada tahun 2023.
Tambahan kapasitas terbesar adalah bioenergi (+1,3 GW), diikuti oleh tenaga hidro (+1 GW), surya (+0,5 GW), panas bumi (+0,5 GW), dan angin (0,01 GW). Sebaliknya, Indonesia memasang tambahan kapasitas bahan bakar fosil sebesar 26 GW dalam lima tahun terakhir. Bahan bakar fosil sekarang menyumbang 80 GW, atau 86% dari total kapasitas pembangkit listrik sebesar 93 GW pada tahun 2023.
Pada tahun 2023, energi terbarukan menyumbang 19% (65 TWh) dari bauran listrik Indonesia, baik yang on-grid maupun tidak terhubung ke jaringan listrik (off-grid). Pembangkitan tenaga surya dan angin hanya memberikan kontribusi masing-masing sebesar 0,2% (0,7 TWh) dan 0,1% (0,5 TWh). Hidro merupakan penyumbang terbesar sebesar 7% (25 TWh), diikuti oleh bioenergi sebesar 6,4% (22 TWh) dan panas bumi sebesar 4,8% (17 TWh).
Sebesar 81% (285 TWh) permintaan listrik sisanya dipenuhi oleh bahan bakar fosil. Pada tahun 2023, batu bara menyumbang 62% (217 TWh) pembangkitan listrik. Listrik dari gas juga mencatat kenaikan 6,9% dari 58 TWh pada tahun 2013 menjadi 62 TWh pada tahun 2023.
Kenaikan tajam dalam emisi sektor tenaga listrik dalam dekade terakhir telah dikaitkan dengan rekor pemasangan dan pemanfaatan kapasitas pembangkit listrik yang intensif karbon, khususnya batu bara (+30 GW), gas (+6 GW), dan biomassa (+1,5 GW). Lonjakan ini didorong oleh investasi dalam pembangkit listrik tenaga batu bara, yang dipicu oleh program pembangunan listrik 35.000 MW yang diperkenalkan pemerintah pada tahun 2015, yang secara signifikan mempercepat laju pembangunan pembangkit listrik baru di bawah naungan pertumbuhan ekonomi 5-7%.
Pinjaman untuk belanja modal pada pembangkit listrik tenaga batu bara mencapai 1 miliar USD pada tahun 2021-2022, yang mengakibatkan kelebihan kapasitas dalam pembangkit listrik tenaga batu bara.
Di bawah KEN, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menyediakan strategi terperinci untuk pelaksanaan lintas sektor guna mencapai target KEN. Untuk sektor tenaga listrik, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) menyediakan kerangka peraturan untuk memandu utilitas negara (PLN) dalam mengembangkan RUPTL.
RUKN mencakup empat jalur untuk mencapai target iklim Indonesia: Bisnis Seperti Biasa (Business-as-Usual), skenario emisi nol bersih IEA, retrofit emisi nol, serta penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) emisi nol. Pilihan jalur tergantung pada target yang dikejar (biaya terendah atau emisi nol), asumsi tentang pengurangan CO2, dan penggunaan teknologi.
RUKN ini menjadi dasar bagi RUPTL. Versi terbaru, yaitu RUPTL 2021-2030, menguraikan rencana penambahan kapasitas untuk berbagai sumber energi, dengan energi terbarukan menyumbang 52% (+21 GW) dari total penambahan hingga 2030, dan sisanya berasal dari bahan bakar fosil (+20 GW). Jika target RUPTL tercapai, kapasitas energi terbarukan akan mencapai sekitar 31 GW, atau 31% dari total kapasitas terpasang sebesar 102 GW pada tahun 2030.
Saat pertama kali diperkenalkan, RUPTL 2021-2030 dianggap sebagai rencana pasokan listrik yang paling hijau untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2060. Dibandingkan dengan RUPTL 2019-2028 yang bertujuan membangun 16,7 GW kapasitas energi terbarukan, rencana terbaru bertujuan untuk membangun 20,9 GW kapasitas energi terbarukan, atau 51,6% dari total rencana pembangunan sebesar 40,6 GW.
RUPTL mendatang untuk tahun 2024-2033 akan mengakomondasi skenario Percepatan Pengembangan Energy Terbarukan. Dalam skenario ini, sistem kelistrikan akan memiliki pangsa 75% energi terbarukan (61 GW) dan 25% gas (20 GW).
Untuk mengatasi intermitensi tenaga listrik surya dan bayu, PLN akan membangun infrastruktur smart-grid yang fleksibel. Pembangkit listrik gas akan digunakan untuk mengkompensasi perubahan beban puncak dan fluktuasi dari intermitensi kedua sumber energi tersebut. PLN juga akan membangun transmisi antar pulau untuk maksimalisasi potensi energi terbarukan yang berpusat di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara, untuk pasokan ke pusat permintaan listrik di pulau Jawa.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dalam draf RUKN 2023-2060, memperkirakan laju pertumbuhan permintaan listrik Indonesia antara 4,8% dan 5,2% per tahun. Ini akan mengakibatkan permintaan listrik meningkat dari 363-377 TWh pada tahun 2023 menjadi 1.846-2.152 TWh pada tahun 2060.
Karena gangguan yang disebabkan oleh pandemi COVID-19, laju pertumbuhan permintaan listrik Indonesia melambat dalam beberapa tahun terakhir, sehingga menyebabkan kelebihan kapasitas di sistem Jawa-Bali sekitar 6 GW pada tahun 2023. Pada tahun 2023, permintaan listrik tumbuh secara moderat sebesar 3,4% menjadi 346 TWh. Angka ini di bawah skenario NEMP yang diusulkan, yaitu sekitar 3,9%-5,2% pertumbuhan tahunan dari 2022 hingga 2060.
Sementara itu, kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara Indonesia meningkat lebih dari dua kali lipat dari 25 GW menjadi 52 GW antara tahun 2015 dan 2023, setelah diperkenalkannya program 35.000 MW. Selama periode yang sama, pemanfaatan kapasitas turun sebesar 8% hingga mencapai 48% pada tahun 2023. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa pembangkit listrik tenaga batu bara mungkin tidak beroperasi pada kapasitas penuh.
Dengan menggunakan skenario pertumbuhan permintaan listrik yang optimis berdasarkan RUPTL 2021-2030 dari PLN, perhitungan Ember menunjukkan bahwa permintaan listrik on-grid tahunan akan tumbuh sebesar 4,7% antara tahun 2023 dan 2030 hingga mencapai 445 TWh pada tahun 2030, meningkat dari 323 TWh pada tahun 2023. Sebagai perbandingan, PLN memperkirakan kenaikan permintaan listrik sebesar 4,9% antara tahun 2021 dan 2030, yang didorong oleh pemulihan dari dampak pandemi.
Saat ini, pembangkit listrik tenaga batu bara beroperasi pada kapasitas sekitar 49%, yang mengurangi biaya operasional pembangkit tersebut. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan faktor kapasitas yang disarankan untuk pembangkit listrik tenaga batu bara dalam RUPTL pada tahun 2030, yaitu antara 64-73%. Meningkatkan efisiensi pembangkit listrik tenaga batu bara menggunakan faktor kapasitas tersebut menunjukkan bahwa produksi akan melebihi permintaan. Jika target batu bara dalam RUPTL tercapai, produksi listrik yang berlebihan dari batu bara akan mencapai 42 TWh pada tahun 2030. Hal ini menunjukkan perencanaan pembangkit listrik batu bara baru dapat meningkatkan resiko stranded aset.
Biaya yang dihindari dari listrik yang dihasilkan oleh batu bara, yang bisa dialokasikan untuk energi terbarukan, berkisar antara 1,9 miliar USD dan 2,4 miliar USD, berdasarkan perhitungan biaya levelisasi energi untuk pembangkit listrik tenaga batu bara yang beroperasi pada kapasitas 64%.
Hal ini menawarkan peluang untuk mengembangkan energi bersih dan merealokasi investasi terhadap bahan bakar fossil, meskipun permintaan listrik kian meningkat.
Mempertahankan Momentum JETP
Memperkuat ambisi energi terbarukan akan meningkatkan keamanan energi di masa depan
JETP menargetkan peningkatan pangsa energi terbarukan menjadi 44% pada tahun 2030 dan 66% pada tahun 2035.
Keinginan untuk meningkatkan keamanan, kecukupan, dan keberlanjutan sistem listrik telah mendorong partisipasi Indonesia dalam JETP. Di bawah skenario JETP, pangsa energi terbarukan dalam bauran tenaga listrik akan mencapai 44% pada tahun 2030, dengan tenaga surya dan angin masing-masing menyumbang 8% dan 6% dari total pembangkitan listrik. Ini menandai peningkatan signifikan untuk kedua sumber energi tersebut dari angka saat ini yang bahkan belum mencapai 1%.
Meskipun mekanisme JETP merupakan langkah maju yang ambisius, beberapa aspek masih bisa ditambahkan. Contohnya, akusisi tenaga surya dan bayu yang lebih tinggi, evaluasi untuk peran bioenergi yang maksimal dan berkelanjutan, serta adopsi rencana batu bara sesuai dengan target pensiun 5,2 GW Indonesia pada tahun 2030, yang sebelumnya telah diumumkan.
Mengingat perubahan profil permintaan listrik Indonesia, yang didorong oleh pertumbuhan populasi, elektrifikasi di sektor transportasi, dan meningkatnya permintaan dari sektor manufaktur, ada kekhawatiran apakah pertumbuhan energi terbarukan dapat memenuhi lonjakan permintaan.
Mencapai target pengurangan emisi yang ditetapkan dalam JETP memerlukan percepatan ambisi energi bersih Indonesia serta perumusan peta jalan yang komprehensif untuk pengembangan industri panel surya guna menarik lebih banyak investor. Untuk mencapai target ini, Indonesia perlu membangun tambahan 8,9 GW tenaga surya dan 2,9 GW tenaga angin setiap tahun, di luar target yang ditetapkan dalam RUPTL. Upaya ini akan menghasilkan kapasitas tenaga surya dan angin terpasang sebesar 38 GW pada tahun 2030.
Skenario JETP juga mengandalkan teknologi baterai untuk menyerap energi surplus dan menyalurkannya selama permintaan puncak pada malam hari. Mengingat ekspansi kawasan industri dan pabrik nikel di Sulawesi, akan ada lebih banyak peluang untuk memanfaatkan pasar khusus dengan potensi energi terbarukan.
Melanjutkan skenario ini mendasari kebutuhan mendesak untuk meningkatkan infrastruktur jaringan saat ini dan fleksibilitas sistem secara keseluruhan untuk menampung lebih banyak tenaga surya dan angin. Menurut dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) 2023 milik JETP, jaringan harus ditingkatkan untuk meningkatkan penyerapan tenaga surya dan angin dari 14% pada tahun 2030 menjadi 36% pada tahun 2050, termasuk sambungan khusus. Meningkatkan fleksibilitas pembangkit listrik tenaga batu bara juga penting untuk menghadapi peningkatan penyerapan tenaga surya masa depan.
CIPP mengidentifikasikan bahwa tenaga surya memiliki potensi terbesar untuk dikembangkan. Hal ini tergantung pada seberapa baik calon pengguna atap surya merespons Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2 Tahun 2024 yang baru, yang mengatur tentang pembangkit listrik tenaga surya atap. Faktor penting lain adalah bagaimana PLN dapat memprioritaskan peningkatan kualitas jaringan transmisi dan smart grid untuk menyerap tenaga surya yang memiliki sifat intermiten untuk menjaga keamanan sistem kelistrikan.Peraturan tersebut memperkenalkan kuota tenaga surya baru untuk jaringan listrik on-grid dan off-grid, dengan tujuan meningkatkan penggunaan energi surya di kalangan rumah tangga, pelanggan komersial, dan industri. Potensi lainnya adalah mengalokasikan ulang dana JETP untuk memberikan insentif kepada calon pengguna tenaga surya.
Provinsi penghasil batu bara utama berada di garis depan transisi energi. Provinsi-provinsi ini sudah memiliki infrastruktur listrik dan transportasi yang dapat membantu pengembang mengurangi biaya modal dalam penerapan tenaga surya. Sekitar 2.300 kilometer persegi area pertambangan yang memiliki izin di Indonesia adalah lahan yang terganggu, yang dapat menampung sekitar 0,5 TW kapasitas tenaga surya.
Provinsi-provinsi ini adalah laboratorium untuk penghentian bahan bakar fosil dan menentukan seberapa “adil” dan inklusif transisi tersebut akan berlangsung. Insentif pertumbuhan ekonomi akan menjadi kunci bagi provinsi ini untuk sepenuhnya terlibat dengan tantangan perubahan iklim.
Tindakan apa yang diperlukan? Mengalokasikan lebih banyak proyek energi terbarukan di provinsi tersebut adalah titik awalnya, dengan mempertimbangkan kecocokan lokasi dan potensi energi terbarukan. Membuka industri baru akan menghasilkan perolehan modal, menciptakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan pendapatan pajak untuk pemerintah provinsi. Dalam konteks transisi yang berkeadilan, provinsi ini akan meningkatkan ketahanan energi lokal dan mendukung tindakan keberlanjutan. Dengan demikian, mendorong energi terbarukan dapat sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi dan mencapai tujuan transisi berkeadilan.
Analisis produksi batu bara lokal di Indonesia mengungkapkan bahwa tiga wilayah penghasil batu bara terbesar pada tahun 2022 adalah Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan. Namun, dokumen CIPP menunjukkan bahwa sebagian besar investasi proyek energi terbarukan terkonsentrasi di Jawa.
Selain itu, alokasi proyek prioritas JETP dalam dokumen CIPP hanya mencakup 43% (23,86 GW) dari total kapasitas energi terbarukan tambahan yang dibutuhkan antara tahun 2020 dan 2030 (54,5 GW). Data ini menunjukkan bahwa pencapaian target JETP mungkin menghadapi hambatan karena perencanaan proyek yang tidak jelas dan komitmen pendanaan yang tidak memadai.
Transisi di daerah penghasil batu bara
Pokok kesepakatan
Daerah penghasil batu bara Indonesia mungkin akan terdampak oleh transisi energi. Namun, berbagai program energi terbarukan menawarkan peluang untuk mentransformasi ekonomi berbasis fossil ini dengan menarik investasi teknologi bersih dan menciptakan peluang kerja yang berketerampilan tinggi.
Sebagai negara penghasil batu bara, ekonomi Indonesia sangat terkait dengan batu bara, terutama untuk pasar ekspor dan industri domestik. Dalam hal ekspor, Indonesia telah mengalami peningkatan yang stabil dalam ekspor batu bara, meningkat dari 356 juta ton pada tahun 2018 menjadi 518 juta ton pada tahun 2023, dengan nilai ekspor berkisar antara 14 miliar USD hingga 46 miliar USD.
Namun, nilai ekspor ini menurun sebesar 26% dari tahun 2022 ke 2023 yang disebabkan oleh turunnya harga komoditas. India, sebagai importir batu bara Indonesia terbesar kedua, juga menunjukkan penurunan minat dalam melanjutkan ketergantungan pada impor batu bara. Meskipun ada tren global yang mengarah pada pengurangan penggunaan batu bara, pemerintah Indonesia tetap menetapkan target ambisius untuk meningkatkan produksi batu bara menjadi lebih dari 900 juta ton pada tahun 2024.
Pada saat yang sama, para pemimpin lokal di provinsi yang kaya akan batu bara memiliki kekhawatiran dalam memastikan keberlanjutan investasi energi fosil. Tiongkok, investor terbesar dalam pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia, telah mengumumkan akan menghentikan pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga batu bara baru di luar negeri. Keputusan ini dapat membatasi pendanaan untuk Indonesia dan menimbulkan keraguan tentang masa depan proyek pembangkit listrik tenaga batu bara.
Mempertahankan tingkat produksi batu bara yang tinggi akan meningkatkan risiko aset terbengkalai dan memperburuk dampak lingkungan dari penambangan batu bara, yang terus memengaruhi sebagian besar Indonesia, terutama di provinsi penghasil batu bara.
Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan adalah daerah penghasil batu bara utama di Indonesia. Pada tahun 2022, masing-masing menyumbang sekitar 302 juta ton, 204 juta ton, dan 88 juta ton batu bara, yang secara keseluruhan menyumbang lebih dari 85% dari total produksi batu bara Indonesia.
Kegiatan ekonomi di provinsi-provinsi tersebut sangat bergantung pada sektor batu bara. Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan masing-masing menyumbang lebih dari 44% dan 30% dari produk domestik regional bruto (PDRB) melalui sektor batu bara. Secara nasional, sektor ini juga mendukung lebih dari 150.000 pekerjaan. Seiring dengan kemajuan transisi energi, penurunan sektor batu bara diperkirakan akan berdampak signifikan pada ekonomi provinsi tersebut.
Sayangnya, diskusi tentang transisi berkeadilan secara spesifik daerah penghasil batu bara ini belum dimasukkan ke dalam rekomendasi JETP yang terbit di tahun 2023.
Sektor batu bara menimbulkan risiko kehilangan pekerjaan akibat berakhirnya siklus hidup tambang. Kalimantan Timur, misalnya, termasuk dalam 10 provinsi yang paling terdampak, dengan estimasi sekitar 17.000 pekerjaan di sektor penambangan batu bara yang kemungkinan akan hilang pada tahun 2050. Secara nasional, puncak pemutusan hubungan kerja pekerja tambang batu bara diperkirakan akan terjadi sekitar tahun 2030-an.
Dengan tren transisi energi global, daerah penghasil batu bara utama akan menghadapi risiko yang meningkat akibat menurunnya permintaan batu bara. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memprediksi bahwa produksi batu bara domestik bisa turun menjadi 250 juta ton pada tahun 2060. Penurunan konsumsi batu bara ini akan memengaruhi pekerjaan lokal, kontribusi PDRB, dan kegiatan ekonomi di daerah.
Ekonomi Kalimantan Timur, misalnya, sangat bergantung pada sektor ekstraktif. Ketika harga batu bara melonjak pada tahun 2022 menjadi sekitar 345 USD/ton, biaya royalti dari sektor penambangan mencapai Rp4,6 triliun (sekitar 285 juta USD), hampir 40% dari pendapatan provinsi. Selain itu, sektor ini telah menciptakan lebih dari 130.000 pekerjaan. Namun, jika sektor penambangan dan minyak serta gas sepenuhnya habis, ekonomi Kalimantan Timur bisa menurun sebesar 65%.
Mengikuti taksonomi keberlanjutan terbaru, para investor dan lembaga keuangan semakin menyadari isu-isu lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dan mulai menilai risiko terkait investasi di sektor batu bara. Perusahaan batu bara besar di Indonesia, seperti Indika Energy dan Adaro Energy, telah memulai diversifikasi ke energi bersih dan berkomitmen untuk mengurangi pendapatan mereka dari batu bara termal. Pergeseran ini kemungkinan akan memengaruhi sektor batu bara di daerah-daerah tersebut, karena sumber daya keuangan dialihkan ke sektor lain dan kemungkinan lokasi lain.
Ketergantungan pada sektor batu bara juga mengakibatkan dampak lingkungan yang signifikan di daerah penambangan batu bara. Diperkirakan bahwa 143.592 hektar hutan alami di Kalimantan telah mengalami deforestasi dan dikonversi menjadi tambang batu bara. Selain itu, kegiatan penambangan batu bara dan pembangkitan listrik dari batu bara juga berkontribusi secara signifikan pada emisi sektor energi.
Dengan total produksi batu bara sekitar 600 juta ton, ketiga provinsi ini melepaskan jumlah emisi metana yang signifikan dari kegiatan penambangan batu bara, yang sering disebut sebagai metana tambang batu bara (CMM). Pada tahun 2022, emisi CMM diperkirakan mencapai 516 kiloton CH4. Mengingat bahwa CMM memiliki dampak iklim jangka panjang 30 kali lebih besar dibandingkan karbon dioksida, angka ini setara dengan sekitar 15,4 juta ton CO2e. Namun, emisi CMM tidak termasuk dalam inventarisasi gas rumah kaca subnasional dan rencana mitigasi untuk provinsi-provinsi ini.
Selain menghasilkan emisi metana dari penambangan batu bara, provinsi-provinsi ini juga sangat bergantung pada batu bara untuk listrik. Pada tahun 2022, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan memiliki pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) dengan kapasitas total masing-masing 987 MW dan 571 MW. Sementara itu, Sumatera Selatan memiliki 1.340 MW PLTU, yang memasok listrik untuk provinsi dan daerah sekitarnya. Secara keseluruhan, PLTU ini diperkirakan menghasilkan lebih dari 15 juta ton CO2e setiap tahunnya, sebanding dengan tingkat emisi CMM.
Dalam RUPTL 2021-2030, PLN juga merencanakan penambahan substansial untuk PLTU di provinsi-provinsi ini. Sumatera Selatan akan mengalami peningkatan sebesar 2.100 MW, sementara Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur masing-masing akan menambah 214 MW dan 14 MW. Perluasan ini diperkirakan akan meningkatkan emisi dari PLTU dan metana tambang batu bara lebih dari 12,6 juta ton CO2e. Selain itu, hal ini dapat meningkatkan risiko aset terbengkalai dan menghambat upaya untuk mengurangi emisi serta mendiversifikasi ekonomi.
Meskipun ada dampak potensial pada sektor batu bara, transisi energi berkeadilan memberikan peluang transformasi ekonomi bagi daerah penghasil batu bara. Proyek energi terbarukan dan manufaktur energi bersih menghadirkan alternatif yang menjanjikan. Misalnya, Mongolia Dalam sedang mempercepat rencana industri energi barunya, dengan tujuan menghasilkan listrik bersih dan menjadi pusat utama manufaktur teknologi bersih.
Di Indonesia, PLN dan pemerintah telah memulai beberapa program energi terbarukan yang mencakup daerah penghasil batu bara dengan total potensi 2,7 GW. RUPTL, yang diklaim sebagai rencana bisnis “terhijau”, mencakup total proyek energi terbarukan sebesar 1,6 GW di ketiga provinsi ini. Selain itu, 391 MW generator diesel dapat digantikan dengan energi terbarukan melalui program substitusi diesel PLN. Peraturan surya atap yang baru diluncurkan juga menawarkan peluang bagi pemilik gedung untuk mengurangi jejak emisi dan tagihan listrik mereka, dengan potensi 536 MW hingga 2028.
Selain program-program yang ada, daerah penghasil batu bara dapat memperoleh manfaat lebih besar dengan menggantikan kapasitas batu bara tambahan dengan tenaga surya. Sebanyak 2.328 MW PLTU yang akan dibangun antara 2021 dan 2030 dapat digantikan dengan 5,8 GW tenaga surya di ketiga provinsi ini. Penambahan kapasitas tenaga surya ini sejalan dengan skenario CIPP dan dapat menjadi bagian dari proyek prioritas dalam CIPP.
Program-program ini akan memicu efek berganda di daerah penghasil batu bara ini. Total investasi yang diperlukan untuk proyek ini dapat mencapai sekitar 9,4 miliar USD. Proyek tersebut juga diharapkan menciptakan sekitar 95.000 pekerjaan berketerampilan tinggi, yang dapat mengimbangi kehilangan pekerjaan akibat penutupan tambang. Peluang investasi dalam manufaktur teknologi bersih, seperti modul tenaga surya dan komponen lainnya, dapat lebih meningkatkan investasi dan penciptaan pekerjaan.
Selain itu, pelaksanaan program-program ini akan mengurangi emisi sektor energi di ketiga provinsi tersebut. Pembangkitan listrik terbarukan dapat menghindari emisi setara 18 juta ton CO2 dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan menyimpan 12 juta ton batu bara di bawah permukaan.
Ini juga dapat membuka jalan bagi investasi dalam manufaktur teknologi bersih di daerah-daerah tersebut.
Kesimpulan
Kebijakan energi Indonesia pasca-2024
Di bawah kepemimpinan baru Indonesia, prinsip keterjangkauan harga dan aksesibilitas untuk seluruh masyarakat di Indonesia akan tetap menjadi patokan transisi energi
Tahun ini, Indonesia akan mengajukan target 2035 ke PBB, bersama dengan target yang diperbarui untuk 2030. Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC) akan meningkatkan target pengurangan emisi di sektor energi menjadi 358 juta ton pada 2030, dengan pengembangan energi terbarukan sebagai bagian besar dari rencana tersebut.
Target sektor energi Indonesia untuk mencapai netralitas karbon pada 2060 tercantum dalam KEN, yang terakhir diperbarui sepuluh tahun lalu pada 2014. KEN yang direvisi, yang diharapkan dirilis tahun ini, akan mengurangi target energi terbarukan dari 23% pada 2025 menjadi antara 17-19% dalam bauran energi.
Akibatnya, komitmen iklim Indonesia di sektor energi mungkin akan terwujud lebih lama dari tujuan realisasi sebelumnya. Namun, semakin lama Indonesia mempertahankan ketergantungan terhadap fossil, target Indonesia menjadi negara berbasis ekonomi hijau, sesuai visi Indonesia 2045 terancam meleset.
Menyatukan Tujuan Transisi Energi, Iklim, dan Pembangunan
Bukti menunjukkan bahwa transisi energi Indonesia seharusnya sudah berjalan dengan baik. Pemerintah telah menetapkan target untuk mendukung pengembangan energi terbarukan melalui RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan dengan meningkatkan kapasitas energi terbarukan on-grid, mengubah pembangkit listrik berbasis diesel menjadi tenaga surya, dan memperluas atap surya. RUU baru ini harus mendefinisikan dengan jelas proporsi pembangkit energi terbarukan dalam total bauran listrik, dan memprioritaskan energi terbarukan daripada sumber energi ‘baru’, seperti nuklir dan bahan bakar yang berasal dari fosil.
Meskipun bahan bakar fosil akan terus memainkan peran signifikan, permintaannya tidak akan mencapai puncaknya dan menurun hingga 2030 menurut skenario JETP. Garis waktu ini memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk menyesuaikan rencana pengembangan sektor tenaga listriknya dan memberi waktu kepada provinsi penghasil batu bara untuk mengembangkan strategi baru. Baik pemerintah nasional maupun lokal perlu merumuskan kebijakan yang mendukung transisi energi bersih. Akhirnya, keberhasilan transisi akan bergantung pada tata kelola yang efektif di berbagai tingkat di Indonesia.
Mengingat struktur tata kelola Indonesia yang multilevel dan multisektoral, menetapkan tujuan keberlanjutan jangka panjang yang mengintegrasikan transisi energi, iklim, dan ambisi pembangunan dapat menyelaraskan transisi yang adil dengan pertumbuhan ekonomi berkualitas tinggi. Upaya ini mendistribusikan tugas transisi secara dinamis di antara berbagai aktor pemerintah. Indonesia memiliki peluang lebih baik untuk berhasil mendorong pertumbuhan energi bersihnya jika para aktor ini bekerja sama secara efektif.
Sebagai negara penghasil batu bara, Indonesia mungkin memiliki keuntungan dalam melindungi populasinya dari guncangan harga sporadis yang mengancam keterjangkauan energi. Walau PLN dan pemerintah mungkin terus melanjutkan mekanisme subsidi untuk menjaga keterjangkauan layanan energi, akses ke listrik tetap menjadi tantangan besar di daerah pedesaan. Dalam jangka panjang, guncangan mungkin timbul dari penipisan sumber daya terbatas tidak dapat dihindari.
Kerjasama internasional and regional menjadi penting untuk membantu Indonesia mencapai target transisi energi berkeadilan, dibawah prinsip Tanggung Jawab Bersama yang Dibedakan (Common But Differentiated Responsibilities/CBDR). CBDR adalah jembatan untuk menyeimbangkan kepentingan kelompok negara berkembang dan negara maju dengan mempertimbangkan kontribusi histori ke perubahan iklim dan kekuatan ekonomi.
Energi terbarukan dapat meningkatkan akses energi bersih di daerah pedesaan dan mengatasi kekurangan energi di daerah perkotaan. Bagi Indonesia, yang prioritas utama pemerintahnya adalah energi berkeadilan untuk seluruh masyarakat, kebijakan yang dirancang dengan baik untuk mendukung energi terbarukan akan sangat penting untuk mengatasi guncangan tersebut.
Materi pendukung
Ucapan terima kasih
Gambar sampul
Petugas membersihkan dan memeriksa panel surya yang dipasang di balkon pasar Gedhe di Klaten, Jawa Tengah, Indonesia.
Kredit: ZUMA Press, Inc. / Alamy Stock Photo
Kontributor
Ucapan terima kasih yang tulus kepada Mada Ayu Habsari, Edo Mahendra, David Silalahi dan kontributor lainnya atas dukungan berharga mereka dalam peninjauan sejawat laporan ini.
Terima kasih khusus kepada Rini Sucahyo atas dukungan yang luar biasa melalui penyuntingan dan penyusunan laporan, Aditya Lolla untuk masukan dan saran beliau, serta Neshwin Rodrigues untuk diskusi mengenai asumsi data dan validitasnya. Ucapan terima kasih kami haturkan kepada Libby Copsey, Oya Zaimoglu, dan Chelsea Bruce-Lockhart atas dukungan mereka dalam validasi dan visualisasi data.
Metodologi
Pembangkitan Energi, Impor, dan Permintaan
Data tahunan dari 2000 hingga 2023 diambil dari Buku Panduan Statistik Energi dan Ekonomi Indonesia 2023.
Kenaikan permintaan listrik tahunan sebesar 4,7% antara 2023 dan 2030 dihitung berdasarkan data permintaan historis dari 2023 dan proyeksi permintaan pada 2030 sebagaimana tercantum dalam RUPTL 2021-2030.
Analisis Ember
Di Bab 1, kami menghitung pembangkitan energi terbarukan pada 2030, menggunakan data kapasitas batu bara pada 2023 dan target RUPTL. Analisis ini didasarkan pada tingkat pertumbuhan tahunan untuk permintaan listrik sebesar 4,7%, dan faktor kapasitas untuk batu bara sebesar 64%, tenaga surya sebesar 20%, hidro sebesar 52% berdasarkan faktor kapasitas rata-rata pembangkit tenaga air di semua jenis pembangkit pada 2022, dan angin sebesar 35%.
Rentang biaya pembangkitan listrik dari batu bara dihitung menggunakan biaya pembangkitan rata-rata PLN untuk teknologi batu bara pada 2023 (Rp737,52 per kilowatt jam) dan biaya listrik yang diperkirakan menggunakan metodologi dari NREL Annual Technology Baseline 2023.
Penilaian Bab 2 membandingkan rencana penambahan kapasitas dalam RUPTL 2021-2030 dan dokumen CIPP JETP.
Di Bab 3, kami menghitung emisi dari pembangkit listrik berbasis batu bara dan metana tambang batu bara. Faktor emisi dikumpulkan dari peraturan batas emisi untuk PLTU batu bara dan faktor emisi rata-rata IPCC untuk tambang batu bara permukaan.
Pembangkitan energi terbarukan diperkirakan menggunakan faktor kapasitas dari katalog teknologi sektor tenaga listrik. Peluang penciptaan lapangan kerja dihitung berdasarkan jumlah pekerjaan per gigawatt jam pembangkitan energi terbarukan. Peluang investasi dihitung berdasarkan biaya rata-rata listrik untuk energi terbarukan dari IRENA. Penghindaran emisi dari proyek RE baru dihitung menggunakan faktor emisi jaringan PLN.