Risiko mengabaikan emisi metana di pertambangan batu bara | Ember

Risiko mengabaikan emisi metana di pertambangan batu bara

Emisi metana tambang batu bara yang tidak dilaporkan dapat meningkatkan risiko sektor batu bara dan menghambat upaya dekarbonisasi perusahaan-perusahaan batu bara di Indonesia.

Tersedia dalam: English

29 Juli 2024
17 menit baca
Unduh PDF

Sorotan

922 Mt
Total kuota produksi batu bara yang disetujui pada tahun 2024
4
Dari 10 perusahaan melaporkan emisi gas metana tambang batu bara dalam laporan keberlanjutan mereka
>2x
Total emisi perusahaan batu bara bisa lebih dari dua kali lipat karena emisi gas metana tambang batu bara yang tidak dilaporkan

Ringkasan eksekutif

Metana tambang batu bara: bagian penting dalam upaya dekarbonisasi penambangan batu bara

Perusahaan batu bara akan mendapat manfaat dari pengukuran dan pelaporan emisi metana. Proses ini dapat membantu perusahaan memahami skala masalah, menilai risiko lingkungan dan investasi, serta mendukung pengembangan strategi mitigasi yang efektif.

 

Batu bara melepaskan emisi tidak hanya selama pembakaran, tetapi juga selama proses produksi. Di antara semua gas rumah kaca yang dilepaskan dari rantai pasokan batu bara, gas metana tambang batu bara dianggap sebagai emisi utama karena memiliki efek pemanasan 30x lebih besar dibandingkan karbon dioksida.

Sayangnya, sebagian besar perusahaan batu bara di Indonesia mengabaikan pentingnya emisi metana dari sektor pertambangan. Hanya empat dari sepuluh perusahaan besar yang memasukkan emisi gas metana tambang batu bara dalam inventarisasi emisi mereka. Sementara itu, untuk enam perusahaan besar lainnya, emisi gas metana tambang batu bara mereka diperkirakan sama besarnya dengan emisi keseluruhan yang dilaporkan, yaitu gabungan antara emisi dari pembakaran bahan bakar fosil dan emisi dari penggunaan listrik mereka.

Saat ini perusahaan batu bara di Indonesia masih berfokus pada penurunan emisi karbon dioksida dalam inisiatif keberlanjutan mereka. Beberapa perusahaan telah memulai upaya penurunan emisi, termasuk memperluas penggunaan energi fotovoltaik surya. Selain itu, banyak perusahaan batu bara besar di Indonesia yang juga terlibat dalam pengembangan energi terbarukan dan kendaraan listrik.

Walau demikian, upaya mitigasi melalui pengurangan emisi gas metana tambang batu bara belum menjadi prioritas perusahaan-perusahaan yang kami tinjau.

Langkah pertama untuk mengatasi emisi gas metana adalah dengan dimulainya pengukuran dan pelaporan emisi gas metana oleh perusahaan batu bara. Proses ini akan membantu mereka lebih memahami tantangan emisi gas rumah kaca dan membantu menyelaraskan kewajiban pelaporan perusahaan dengan standar nasional dan internasional.
Selain itu, perusahaan batu bara perlu mempertimbangkan emisi gas metana dalam penilaian risiko lingkungan dan investasi, dalam konteks transisi energi yang lebih luas. Diversifikasi bisnis akan membantu mereka mengurangi risiko ini, dan memanfaatkan peluang bisnis energi terbarukan yang terus berkembang pesat.

Menurunkan emisi metana secara proaktif adalah langkah penting untuk mengurangi risiko tata kelola lingkungan dan sosial yang ditimbulkan oleh penambangan batu bara.

Poin-poin utama

01

Risiko peningkatan produksi batu bara di pasar yang tidak menentu

Pemerintah Indonesia baru-baru ini menyetujui kuota produksi batu bara sebesar 922 juta ton untuk tahun 2024. Kuota produksi tersebut 212 juta ton lebih banyak dibandingkan target produksi saat ini sebesar 710 ton. Padahal, permintaan batu bara domestik untuk listrik telah berkurang dan importir utama batu bara Indonesia, seperti Tiongkok dan India, sedang dan akan menurunkan impor mereka.

02

Hanya empat dari sepuluh perusahaan batu bara besar yang melaporkan emisi CMM

Di antara sepuluh perusahaan batu bara terbesar di Indonesia, hanya Indo Tambangraya Megah, Bukit Asam, Golden Energy Mines, dan Indika Energy yang memasukkan gas metana tambang batu bara dalam pelaporan emisi mereka. Namun, perbedaan intensitas metana yang dilaporkan mencapai tujuh kali lebih besar antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Selain itu, perusahaan-perusahaan ini belum menyediakan informasi yang terperinci untuk menjadi landasan perbedaan intensitas tersebut.

03

Emisi dari CMM yang tidak dilaporkan bisa lebih besar dari pembangkitan energi di tambang batu bara

Emisi gas metana tambang batu bara dari enam perusahaan lainnya diperkirakan setara, atau lebih besar, dibandingkan emisi dari pembakaran bahan bakar fosil dan penggunaan listrik untuk kegiatan pertambangan. Untuk perusahaan dengan nisbah kupas (jumlah bahan limbah yang dibuang per unit batu bara yang diekstraksi) yang tinggi, emisi pembangkit bahan bakar fosil jauh lebih besar daripada emisi CMM karena intensitas energi yang lebih tinggi.

04

Upaya dekarbonisasi saat ini belum memadai

Perusahaan-perusahaan batu bara Indonesia telah memulai aksi penurunan emisi dan diversifikasi menuju industri energi yang lebih bersih. Indika Energy dan Adaro Energy bahkan telah berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih masing-masing pada tahun 2050 dan 2060. Namun, gas metana tambang batu bara masih belum dicakup dalam target atau rencana mitigasi mereka. Padahal, emisi metana merupakan bagian penting untuk penurunan emisi.

Beberapa perusahaan batu bara besar di Indonesia sudah mulai menurunkan emisi melalui berbagai langkah dekarbonisasi. Beberapa di antaranya berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih dan mengembangkan bisnis energi hijau. Namun, sebagian besar dari mereka masih belum memberikan perhatian signifikan pada dampak dari emisi metana tambang batu bara, serta upaya penanganannya. Mengukur dan melaporkan emisi metana adalah langkah krusial dalam upaya dekarbonisasi tambang batu bara dan keselarasannya terhadap standar pelaporan nasional dan internasional. However, most of them have overlooked the significant impacts of methane emissions within their coal businesses, and none have planned to address it. Measuring and reporting methane emissions will be crucial in coal mining decarbonisation efforts and ensuring compliance with national and international standards.

Laporan ini sangat penting dan mendasar untuk menyampaikan fakta bahwa sektor pertambangan, khususnya batubara, memiliki potensi sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca yang berkali lipat di luar pemanfaatannya untuk PLTU. Laporan ini juga bisa menjadi rekomendasi langkah awal bagi Pemerintah dan Pelaku usaha pertambangan untuk lebih berkontribusi lebih dalam pencapaian net zero emission. Apalagi, Indonesia sebagai negara pelaksana Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI), melalui Standar EITI terbaru 2023, Perusahaan minyak dan gas bumi (migas) dan pertambangan mineral dan Batubara (minerba) didorong untuk membuka data emisinya.

Prospek pertambangan batu bara

Produksi dan permintaan batu bara Indonesia

Pemerintah Indonesia memperkirakan penurunan permintaan batu bara dalam jangka panjang. Namun, persetujuan kuota produksi batu bara yang mendekati 1 miliar ton menimbulkan pertanyaan tentang potensi risiko dari ekspansi terbaru ini.

 

Indonesia adalah eksportir batu bara termal dengan kuantitas terbesar di dunia, dan batu bara merupakan elemen penting dari perekonomian Indonesia. Pada tahun 2023, industri ini berkontribusi terhadap 80% penerimaan negara bukan pajak dari sektor pertambangan, yaitu sebesar 5,7 miliar dolar AS. Sektor ini juga secara langsung mempekerjakan sekitar 150.000 orang untuk pertambangan batu bara dan jasa pertambangan. Daerah penghasil batu bara, seperti Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan, juga sangat bergantung pada sektor batu bara untuk pertumbuhan ekonomi.

Terlepas dari pentingnya sektor ini, Peningkatan Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (Enhanced Nationally Determined Contribution/NDC) dari Indonesia telah menetapkan target untuk menurunkan emisi sebesar 31,89% dan selaras dengan skenario 1,5 derajat Celcius. Indonesia juga telah menandatangani Komitmen Metana Global (Global Methane Pledge), yang menargetkan pengurangan gas metana dari aktivitas manusia (antropogenik) secara global sebesar 30% pada tahun 2030. Komitmen-komitmen ini hanya dapat dicapai jika Indonesia mulai meningkatkan porsi penggunaan energi terbarukan dan mengurangi produksi batu bara secara signifikan.

 

Ketidaksesuaian antara pasokan dan permintaan

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengantisipasi penurunan permintaan batu bara global jangka panjang. Produksi batu bara domestik diperkirakan mencapai 700 juta ton (Mt) sampai 2035. Setelah itu, produksi akan melandai, mendekati 250 Mt pada 2060. Hal ini sejalan dengan proyeksi internasional dari IEA dan pemerintah Australia, yang memprediksi penurunan tajam permintaan batu bara global dan sudah dimulainya penurunan ini.

Setelah memecahkan rekor produksi historis berturut-turut selama dua tahun terakhir, Kementerian ESDM menetapkan target produksi baru sebesar 710 Mt untuk tahun 2024. Angka ini 65 Mt lebih rendah dari produksi batu bara pada 2023, yang mencapai 775 Mt.

Namun, Kementerian ESDM baru-baru ini mengumumkan persetujuan rencana kegiatan dan anggaran biaya (RKAB) perusahaan batu bara yang bertentangan dengan prediksi ini.

Menurut kuota produksi batu bara yang disampaikan di DPR pada bulan Maret 2024, 587 perusahaan telah diberikan persetujuan untuk total produksi tahunan batu bara yang melampaui 922 juta ton untuk tahun 2024. Angka ini 30% lebih tinggi dari target produksi batu bara yang diumumkan pada Januari 2024, dan juga dapat meningkat karena masih ada 175 permohonan produksi batu bara yang sedang direvisi.

Kesenjangan antara kuota produksi yang baru-baru ini diumumkan dan target produksi yang ditetapkan dapat memberikan fleksibilitas bagi perusahaan batu bara untuk memasok potensi peningkatan permintaan global.

Namun, jika tidak dipantau dan dikelola dengan baik, hal ini juga dapat mengakibatkan risiko kelebihan pasokan batu bara dan menekan harga batu bara ke arah negatif. Hal ini meningkatkan risiko aset terbengkalai dan dampak lingkungan jangka pendek yang tidak perlu serta emisi metana yang signifikan.

Ketidakpastian permintaan batu bara Indonesia

Lonjakan produksi batu bara pada tahun 2023 didorong oleh peningkatan permintaan yang signifikan dari Tiongkok. Ekspor ke Tiongkok tahun lalu meningkat 45 juta ton atau 26%. Namun, peningkatan tersebut hanya strategi sementara untuk mengatasi kekurangan pasokan listrik dari pembangkit listrik tenaga air pada paruh pertama 2023 di Tiongkok. Secara umum, dengan komitmen Tiongkok untuk mencapai puncak emisi karbon pada 2030, perlambatan ekonomi, dan peningkatan instalasi tenaga angin dan surya yang terus memecahkan rekor, permintaan Tiongkok terhadap batu bara diperkirakan akan segera memuncak.

India, sebagai importir batu bara Indonesia terbesar ke-2, juga  berusaha mengurangi impor batu bara. Produksi batu bara domestik India saat ini meningkat semakin cepat, salah satunya karena upaya kebijakan nasional untuk mengurangi ketergantungan pada impor energi.  Pada tahun 2023, India meningkatkan produksi batu baranya sebesar 10% dan impor batu bara dari Indonesia berkurang sebesar 2%. Antara 2019 dan 2029, tren ini diperkirakan akan terus berlanjut, dan impor batu bara ke India diperkirakan turun 102 juta ton atau 52%.

Konsumsi batu bara di Indonesia juga mulai menurun setelah terjadi peningkatan yang signifikan pada tahun 2022. Tahun lalu, konsumsi batu bara turun sebanyak tiga juta ton karena pembangkit listrik dan industri, seperti industri pulp dan kertas, telah memulai beberapa langkah dekarbonisasi yang lebih dari cukup untuk mengimbangi peningkatan konsumsi. Pada tahun 2023, satu-satunya peningkatan konsumsi batu bara ditemukan pada industri pengolahan mineral yang berkembang.

Emisi sektor pertambangan batu bara

Perusahaan batu bara belum melaporkan seluruh emisi mereka

Pertambangan batu bara menghasilkan emisi metana yang signifikan dan besarannya sama dengan, atau lebih dari, emisi yang ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil dan penggunaan listrik mereka. Namun, sebagian besar perusahaan batu bara belum mengukur dan melaporkan emisi ini.

 

Saat ini terdapat 905 konsesi pertambangan batu bara di Indonesia. Namun, sekitar setengah dari produksi batu bara Indonesia hanya berasal dari sepuluh perusahaan batu bara. Produsen terbesar batu bara adalah Bumi Resources dengan dua anak perusahaan utamanya, Kaltim Prima Coal (KPC) dan Arutmin Indonesia. Sembilan perusahaan batu bara terbesar lainnya adalah Adaro Energy, Bayan Resources, Golden Energy Mines, Bukit Asam, Indika Energy dengan anak perusahaan batu bara Kideco Jaya Agung, Berau Coal, Baramulti Suksessarana, Indo Tambang Megah, dan ABM Investama.

Selain Berau Coal, sembilan dari sepuluh perusahaan ini terdaftar secara publik di bursa efek Indonesia, dan perlu menyiapkan laporan keberlanjutan, sesuai dengan Peraturan OJK No. 51/2017. Kerangka pelaporan ini mencakup persyaratan untuk melaporkan perincian emisi menurut sumber, dan intensitasnya. Namun, sebagian besar perusahaan batu bara terbesar di Indonesia tidak melaporkan tingkat total emisi mereka, dan hanya empat dari sepuluh perusahaan batu bara besar di Indonesia yang saat ini memasukkan emisi metana tambang batu bara dalam inventarisasi emisi mereka.

Jejak emisi perusahaan batu bara

Batu bara melepaskan emisi tidak hanya ketika dibakar, tetapi juga selama proses pertambangan. Emisi gas metana yang terperangkap dalam lapisan batu bara dilepas saat proses ekstraksi dan penggalian lapisan batuan penutup. Emisi ini disebut emisi fugitif, dan metana yang dilepaskan dianggap sebagai sumber emisi utama bagi industri pertambangan.

Selain itu, alat berat dan mesin di tambang batu bara yang berbahan bakar diesel menghasilkan CO2 dan dicatat sebagai emisi pembakaran bahan bakar fosil.

Baik pembakaran bahan bakar fosil, maupun emisi fugitif, dikendalikan oleh perusahaan batu bara, dan dikategorikan sebagai emisi gas rumah kaca (GRK) lingkup 1. Intensitas dan profil emisi pun bervariasi dari satu perusahaan ke perusahaan lain, karena karakteristik unik setiap tambang, seperti jenis batu bara, profil lapisan batu bara dan teknik penambangan.

Ruang lingkup pelaporan emisi

Global Reporting Initiative (GRI) mengembangkan standar sektoral untuk sektor batu bara. Standar ini menguraikan pelaporan emisi untuk mencakup pembakaran bahan bakar fosil, proses emisi, dan emisi metana fugitif. Selain itu, peraturan Kementerian ESDM No. 22/2019 mewajibkan perusahaan batu bara untuk memasukkan metana tambang batu bara dalam inventarisasi emisi dan memastikan metodologinya selaras dengan standar internasional.

Sebagian besar perusahaan yang dianalisis dalam laporan ini mengklaim bahwa pelaporan mereka sudah selaras dengan standar GRI, namun mereka masih hanya melaporkan emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil dan listrik.

Gas metana tambang batu bara dapat menggandakan emisi yang dilaporkan oleh perusahaan batu bara

Kami menganalisis penggunaan energi dan profil emisi dari sepuluh perusahaan batu bara di Indonesia menggunakan data yang tersedia dalam laporan keberlanjutan mereka. Semua perusahaan melaporkan konsumsi energi dan intensitas energi, yang umumnya dianggap sebagai sumber emisi utama dalam penambangan batu bara.

Jumlah limbah yang dibuang per unit batu bara yang diekstraksi, yang disebut nisbah kupas, secara langsung berkaitan dengan konsumsi energi untuk menambang batu bara. Perusahaan dengan nisbah kupas yang tinggi, seperti Berau Coal dan Kaltim Prima Coal, biasanya memiliki intensitas energi yang lebih tinggi. Akibatnya adalah emisi yang lebih tinggi dari pembakaran bahan bakar. Sebaliknya, perusahaan dengan nisbah kupas rendah, seperti Bayan Resources, memiliki intensitas energi lebih rendah dan emisi lebih sedikit.

Namun, enam dari sepuluh perusahaan batu bara besar belum memasukkan gas metana tambang batu bara dalam inventarisasi emisi mereka. Mereka juga tidak melaporkan informasi kedalaman dan permeabilitas tambang batu bara. Ketidaktersediaan data kunci ini mengurangi akurasi perkiraan independen terhadap potensi gas metana tambang batu bara.

Dalam kasus ini, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) merekomendasikan untuk menggunakan faktor emisi rata-rata sebagai pendekatan terbaik yang tersedia. Oleh karena itu, kami memperkirakan potensi emisi metana tambang batu bara dari setiap perusahaan menggunakan faktor emisi rata-rata IPCCdan mengkonversinya ke nilai ekuivalen-CO2 (CO2-e) dengan menggunakan potensi pemanasan global (Global Warming Potential/GWP) untuk metana selama 100 tahun berdasarkan laporan IPCC terbaru.

Analisis kami menunjukkan bahwa untuk sebagian besar perusahaan batu bara besar, emisi metana dari penambangan batu bara mungkin setara atau lebih besar dari total emisi yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil dan penggunaan listrik. Kaltim Prima Coal dan Berau Coal adalah dua pengecualian, karena nisbah kupas dan intensitas energinya yang tinggi menyebabkan tingginya emisi dari pembakaran bahan bakar fosil.

Perlu dicatat bahwa tambang batu bara dengan nisbah kupas tinggi mungkin menghasilkan lebih banyak metana per ton batu bara, karena penambangan yang lebih dalam di lapisan batu bara yang berpotensi memiliki kandungan gas yang lebih tinggi.

Ketidakjelasan emisi metana tambang batu bara yang dilaporkan

Hanya empat dari sepuluh perusahaan batu bara yang dianalisis mengungkapkan emisi metana tambang batu bara mereka. Perusahaan tersebut adalah Indo Tambangraya Megah, Bukit Asam, Golden Energy Mines, dan Energi Indika. Meskipun tidak dibahas dalam laporan ini, TBS Energi Utama, yang menghasilkan 3,2 juta ton batu bara pada tahun 2023, juga melaporkan emisi metana tambang batu bara.

Keempat perusahaan ini menggunakan berbagai metode dan asumsi untuk menghitung emisi metana mereka. Bukit Asam mengacu pada panduan inventarisasi GRK dan potensi pemanasan global (GWP) metana sebesar 21 dari laporan asesmen IPCC yang kedua. Golden Energy Mines menggunakan Permen ESDM No. 22/2019dengan GWP metana sebesar 25 dari laporan asesmen IPCC yang keempat. Dua perusahaan lainnya menggunakan Protokol Gas Rumah Kaca dan GWP metana sebesar 28 dari laporan asesmen IPCC yang kelima. Namun, dua metode terakhir yang disebutkan di atas hanya menyediakan kerangka kerja umum inventarisasi dan pelaporan GRK, dan tidak spesifik pada metana tambang batu bara.

IPCC memberikan pedoman untuk memperkirakan emisi fugitif dari penambangan batu bara. Untuk tambang permukaan, emisi metana dihitung dengan mengalikan produksi batu bara dengan faktor emisi.

Kendati demikian, perusahaan-perusahaan ini belum menyampaikan informasi tentang faktor emisi yang mereka gunakan. Hal ini membuat penentuan akurasi emisi yang dilaporkan menjadi sangat sulit. Variabilitas yang tinggi dalam emisi metana yang dilaporkan antara perusahaan-perusahaan ini menjadi bukti nyata dari tantangan ini.

Sebagai contoh, emisi gas metana yang dilaporkan oleh Golden Energy Mines 162% lebih sedikit dibandingkan Indo Tambangraya Megah, sementara produksi batu baranya 173% lebih banyak. Mungkin ada alasan untuk tingkat variabilitas ini. Namun, peninjauan secara independen menjadi sulit jika belum ada kejelasan dan transparansi terkait bagaimana perkiraan emisi tersebut dibuat.

Intensitas metana dari Golden Energy Mines bisa lebih rendah, misalnya, karena penambangan pada lapisan batu bara dengan kualitas yang lebih rendah. Kedalaman dan geologi tambang juga dapat mengakibatkan penurunan nisbah kupas secara signifikan. Tanpa adanya transparansi yang lebih besar, sangat sulit untuk membuat perbandingan yang jelas. Jika perusahaan secara transparan melaporkan faktor emisi gas metana tambang batu bara yang disertai berbagai asumsinya, maka integritas perkiraan-perkiraan ini akan menjadi lebih baik.

Namun, praktik penghitungan metana yang kurang transparan ini tidak terjadi di Indonesia saja. Ember baru-baru ini menerbitkan analisis mendalam yang menyoroti bagaimana celah penghitungan emisi juga menurunkan integritas pelaporan metana dari tambang batu bara di Australia.

Upaya dekarbonisasi

Aksi dekarbonisasi telah dimulai, meski belum memadai

Perusahaan batu bara telah menginisiasi upaya penurunan emisi dan mulai mendiversifikasi bisnis ke sektor energi bersih. Namun, belum ada yang memiliki rencana mitigasi emisi gas metana tambang batu bara.

 

Transisi energi mengalami kemajuan di Indonesia dan di banyak pasar ekspor utamanya. Hal ini meningkatkan ketidakpastian bisnis di sektor batu bara. Oleh karena itu, perusahaan batu bara perlu menilai risiko transisi ini dan menyiapkan strategi mitigasi, yang dapat mencakup penurunan emisi dan diversifikasi bisnis.

Kami menganalisis kegiatan penurunan emisi yang telah dilakukan oleh perusahaan batu bara di Indonesia, seperti memanfaatkan energi terbarukan, kendaraan listrik, dan kompensasi karbon (carbon offsets). Selain itu, kami juga menilai rencana mereka untuk mendiversifikasi bisnis ke sektor energi bersih.

Indika Energy dan Adaro Energy menyatakan komitmen mereka untuk mencapai emisi nol bersih (NZE) masing-masing pada tahun 2050 dan 2060. Kedua perusahaan ini telah mengembangkan peta jalan yang menguraikan strategi dan aksi untuk mencapai NZE. Selain itu, Indika Energy adalah perusahaan Indonesia pertama yang bergabung dengan Powering Past Coal Alliances (PPCA). Namun, kedua perusahaan ini belum memiliki rencana khusus untuk mitigasi emisi gas metana dalam rencana keberlanjutan mereka.

 

Langkah-langkah yang sudah mulai dilakukan untuk menurunkan emisi

Perusahaan batu bara Indonesia mulai memanfaatkan energi terbarukan untuk menurunkan emisi dari operasi penambangan batu bara.

Sebagai contoh, dua perusahaan memasang proyek fotovoltaik surya skala besar untuk kebutuhan listrik di fasilitas penambangan batu bara. Proyek ini mencakup sistem PLTS hibrida 3 MWp di Indominco Mandiri (anak perusahaan Indo Tambangraya Megah) dan proyek PLTS 1,5 MWp di Fasilitas Pemuatan Tongkang Senyiur milik Bayan Resources.

Tiga perusahaan lain mengembangkan proyek fotovoltaik surya yang lebih kecil. Adaro Energy memasang PLTS atap dan PLTS terapung dengan total kapasitas 598 kWp di fasilitas pengolahan batu bara Kelanis. Kideco Jaya Agung dan Golden Energy Minesjuga memanfaatkan fotovoltaik surya untuk hunian karyawan dengan total kapasitas masing-masing 409 kWp dan 232,2 kWp. Selain itu, Golden Energy Mines juga telah membeli 2.368 MWh sertifikat energi terbarukan (REC) dari PLN.

Selain memasang proyek fotovoltaik surya, Adaro Energy dan Kideco Jaya Agung juga telah berupaya mengurangi konsumsi bahan bakar fosil dengan memanfaatkan kendaraan listrik. Namun, semua langkah ini hanya menurunkan emisi dalam jumlah kecil.

Sejak tahun lalu, Adaro Energy memanfaatkan dua kendaraan listrik untuk transportasi karyawan dan menghemat 1.095 liter atau menurunkan emisi sebesar tiga ton CO2. Kideco Jaya Agung juga menyediakan bus listrik untuk transportasi antar-jemput bagi 400 karyawan yang menghemat 3.996 liter/tahun, atau mengurangi tujuh ton CO2.

Semua langkah ini hanya menurunkan sejumlah kecil emisi karbon dioksida, dibandingkan dengan emisi jutaan ton per tahun yang dihasilkan dari penggunaan listrik dan bahan bakar diesel. Langkah-langkah itu juga hanya menurunkan emisi karbon dioksida. Saat ini, belum ada perusahaan yang dianalisis yang menerapkan atau berencana untuk menerapkan aksi mitigasi emisi metana mereka secara signifikan.

 

Diversifikasi ke bisnis energi bersih

Sebagian besar perusahaan, baik langsung maupun melalui afiliasinya, secara jangka panjang telah merencanakan peningkatan pendapatan non-batu bara dengan mengejar peluang bisnis di sektor energi bersih, seperti energi terbarukan, kendaraan listrik, dan mineral penting.

Perusahaan yang memperluas bisnis mereka ke energi bersih mungkin dapat memanfaatkan peluang bisnis dari Just Energy Transition Partnership (JETP) yang sedang dikembangkan. Kemitraan antara pemerintah Indonesia dan International Partners Group (IPG) ini menargetkan peningkatan porsi energi terbarukan Indonesia sebesar 44%. Kemitraan tersebut telah menghasilkan proyek sebesar US$97,3 miliarantara tahun 2023 hingga 2030. Selain itu, perusahaan yang terlibat akan mendapat manfaat dari akses pendanaan yang lebih baik, karena Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengembangkan taksonomi berkelanjutan untuk mendorong investasi dalam inisiatif keberlanjutan.

Hampir semua perusahaan yang dianalisis dalam laporan ini, kecuali Bayan Resources dan Baramulti Suksessarana, mulai mengembangkan bisnis energi terbarukan. Adaro Energy dan mitra konsorsiumnya sedang membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) skala besar di Kalimantan Utara dan proyek pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di Kalimantan Selatan. Dian Swastatika Sentosa, perusahaan induk Golden Energy Mines dan afiliasi Berau Coal, bekerja sama dengan Trina Solar dalam pengembangan PLTS terintegrasi pertama di Indonesia. Anak perusahaan Indika Energy, EMITS, juga akan mengembangkan sistem PLTS hibrida 102 MWp untuk program substitusi diesel PLN. Terakhir, ABM Investama memiliki dan mengoperasikan pembangkit listrik biogas di Kalimantan Selatan melalui anak usahanya, PT Anzara Janitra Nusantara.

Dua perusahaan juga telah memulai bisnis kendaraan listrik. VKTR, anak perusahaan Bakrie and Brothers dan berafiliasi dengan Bumi Resources, memproduksi bus listrik, kendaraan roda dua listrik, dan stasiun pengisian daya. Ilectra Motor Group (IMG), anak perusahaan Indika Energy, mengembangkan kendaraan roda dua listrik.

Adapun, Bayan Resources dan Baramulti Suksessarana belum menunjukkan komitmen untuk mendiversifikasikan bisnis mereka ke energi bersih seperti perusahaan-perusahaan yang disebut sebelumnya. Pada 2023, kedua perusahaan ini secara signifikan meningkatkan produksi batu bara mereka sebesar 28% dan 39%. Tren ini tampaknya akan berlanjut pada tahun 2024. Bayan Resources bertujuan untuk meningkatkan produksi menjadi 57 juta ton tahun ini, yang dapat mengakibatkan peningkatan sebesar 15%.

Rekomendasi

Mengukur metana untuk langkah mitigasi yang efektif

Mengembangkan inventarisasi emisi gas rumah kaca yang komprehensif dan mencakup gas metana tambang batu bara fugitif akan membantu perusahaan-perusahaan batu bara memahami profil emisi mereka untuk kemudian merancang strategi mitigasi yang efektif.

 

Perusahaan-perusahaan batu bara terbesar di Indonesia telah menunjukkan berbagai tingkat komitmen untuk mengembangkan inventarisasi emisi dan menurunkan emisi CO2. Namun, upaya ini belum mengarah pada penurunan emisi yang signifikan. Selain itu, sebagian besar perusahaan tersebut saat ini belum mengukur atau melaporkan emisi gas metana tambang batu bara mereka. Akibatnya, langkah mitigasi metana belum dipertimbangkan dalam rencana dekarbonisasi penambangan batu bara yang dianalisis dalam laporan ini.

Ember telah mengembangkan tiga rekomendasi utama bagi perusahaan batu bara untuk memahami skala emisi pertambangan batu bara, mengelola risiko, dan memanfaatkan peluang mitigasi.

1.Memahami emisi dan menyelaraskan dengan standar

Perusahaan batu bara perlu mengembangkan inventarisasi gas rumah kaca yang komprehensif untuk memahami proses dan emisi mereka sepenuhnya. Inventarisasi harus mencakup semua gas rumah kaca, termasuk gas metana tambang batu bara (CMM) yang porsinya cukup besar. Dengan memahami emisi mereka, perusahaan dapat mengadopsi strategi untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan emisi, sesuai standar keberlanjutan.

Perusahaan batu bara perlu mengikuti peraturan dan standar. Secara nasional, Peraturan ESDM No. 22/2019 mewajibkan bisnis sektor energi untuk mengembangkan inventarisasi gas rumah kaca, yang mencakup emisi metana fugitif. Di tingkat internasional, GRI 12: sektor batu bara 2022 dan pengungkapan terkait iklim IFRSmemberikan pedoman komprehensif bagi perusahaan batu bara dalam menyiapkan laporan keberlanjutan mereka.

Untuk memperkirakan emisi metana tambang batu bara, perusahaan dapat merujuk kepada panduan IPCC tentang emisi fugitif yang juga telah diadopsi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penggunaan faktor emisi yang sesuai dan potensi pemanasan global metana (GWP) yang termutakhir juga direkomendasikan.

Pelaporan emisi yang komprehensif juga dapat membantu perusahaan dalam meningkatkan transparansi dan kredibilitas untuk menjaga kepercayaan publik. Sebagai anggota Extractive Industry Transparency Initiative (EITI), Indonesia perlu mengedepankan keterbukaan dan transparansi, termasuk penerbitan data emisi sesuai standar EITI terbaru.

 

2. Menilai kembali risiko

Di tingkat global, terdapat kekhawatiran yang semakin meningkat terhadap emisi gas metana dari penambangan batu bara yang belum dilaporkan dan diturunkan dengan lebih baik. Analisis ini menunjukkan bahwa emisi gas metana tambang batu bara dari perusahaan-perusahaan terbesar di Indonesia bisa sama atau lebih tinggi dari pembakaran bahan bakar fosil dan listrik. Kegagalan untuk memahami atau melaporkan emisi dengan akurat akan melemahkan keseluruhan pelaporan keberlanjutan sebuah perusahaan, selain juga mengabaikan peluang yang mungkin besar untuk menurunkan emisi.

Ketika dunia beralih dari batu bara, penting juga untuk menilai semua sumber emisi perusahaan secara komprehensif untuk lebih memahami investasi dan risiko operasional. Indonesia telah memberlakukan peraturan tentang Penetapan Harga Karbon di sektor energi (pembangkit listrik tenaga batu bara) sebagai pelopor. Sebagai elemen yang terintegrasi dengan sektor energi, ada kemungkinan besar bahwa penambangan batu bara akan turut berpartisipasi dalam pengaturan harga karbon pada masa depan.

Harga emisi gas metana juga secara bertahap diterapkan di negara lain. Amerika Serikat mengembangkan skema penetapan harga metana dalam Undang-Undang Pengurangan Inflasi (Inflation Reduction Act/IRA). Biaya emisi metana untuk minyak dan gas ditetapkan sebesar 900 dolar AS per ton pada tahun 2024 dan akan meningkat menjadi 1.500 dolar AS per ton pada tahun 2026. Angka ini sebagian besar selaras dengan biaya dampak sosial dari polusi metana yang diakui oleh Regulator Energi Australia. Selain itu, Regulasi Metana Uni Eropa (UE) juga menguraikan skema denda dengan rekomendasi denda sebesar 6.000 euro per ton metana.

 

3.Menurunkan emisi metana

Terdapat dua langkah bagi perusahaan batu bara untuk menurunkan emisi metana. Dalam jangka panjang. Perusahaan batu bara harus melakukan diversifikasi bisnis dan mengurangi produksi batu bara secara bertahap. Hal ini sejalan dengan proyeksi permintaan global yang lebih luas, risiko investasi batu bara, dan peluang bisnis di sektor energi bersih. Dalam jangka pendek, perusahaan batu bara harus mulai menerapkan langkah-langkah mitigasi untuk menurunkan emisi metana.

Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan bahwa 26% emisi gas metana tambang batu bara Indonesia dapat diturunkan secara teknis, menggunakan teknologi yang sudah ada seperti drainase pratambang dan ventilasi udara metana (Ventilation Air Methane/VAM). Pengelolaan pratambang dilakukan dengan mengebor lubang dalam lapisan batu bara untuk mengekstraksi metana sebelum penambangan dimulai. VAM mengacu pada metana yang diekstraksi dari sistem ventilasi untuk menurunkan konsentrasi metana di tambang batu bara bawah tanah. Metana yang diekstraksi kemudian akan ditangkap dan digunakan, atau dihancurkan melalui oksidasi.

Perusahaan batu bara harus secara aktif menjajaki peluang untuk menerapkan pengelolaan pratambang di seluruh aset penambangan batu bara terbuka (open-cut mines). Teknologi tersebut telah digunakan secara luas di Tiongkok, AS, dan Australia, dengan dukungan investasi awal dari Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) pada akhir tahun 2000-an, serta melalui dukungan pemerintah dan regulasi pasar karbon.

Upaya ini juga tidak terbatas pada tambang bawah tanah. Di Australia, tambang Curragh milik Conorado telah menerapkan sistem drainase pratambang yang mampu menangkap gas limbahnya secara menguntungkan dan menjualnya untuk pembangkitan listrik. Conorado juga telah berhasil menguji coba penggantian bahan bakar diesel dalam armada truknya dengan gas, yang mengarah pada penurunan emisi dan penghematan biaya bahan bakar yang signifikan.

Namun, tambang batu bara bawah tanah memiliki lebih banyak peluang untuk menurunkan emisinya. Selain tambang-tambang ini bisa menggunakan drainase pratambang, mereka juga memiliki peluang untuk menggabungkannya dengan mitigasi VAM.

Pada tahun 2012, sebuah konsorsium yang melibatkan Bayan Resources dan Enel Trade SpA mengajukan desain proyek CDM untuk proyek drainase pratambang dan mitigasi VAM di tambang Wahana Baratama, Kalimantan Selatan. Namun, belum ada informasi mengenai kelanjutan proyek tersebut. Kendati demikian, kelayakan teknis teknologi mitigasi VAM telah terbukti dalam berbagai pertambangan di seluruh dunia selama 25 tahun terakhir.

Materi Pendukung

Metodologi

Penafian

Kami telah mengidentifikasikan contoh bagaimana emisi atau estimasi yang dilaporkan dapat lebih rendah secara signifikan dari jumlah metana yang sebenarnya dilepaskan. Penting untuk dicatat bahwa informasi ini dimaksudkan untuk tujuan informasi atau edukasi saja dan tidak boleh ditafsirkan sebagai nasihat keuangan, hukum, atau profesional lainnya.

Data yang disajikan dalam laporan ini didasarkan pada materi yang diuraikan di bawah ini. Meskipun temuan-temuan tersebut diperoleh dari analisis materi ini, kami tidak dapat menjamin kelengkapan, keakuratan, atau keandalan pernyataan atau representasi yang timbul darinya. Selain itu, ada kemungkinan dimana perusahaan-perusahaan yang dibahas telah membuat pelaporan emisi tapi tidak tersedia untuk publik atau belum teridentifikasi oleh Ember. Kami telah menghubungi semua perusahaan batu bara yang disebutkan dalam laporan ini dalam dua kesempatan yang berbeda untuk mendapatkan konfirmasi terkait hal ini. Perusahaan-perusahaan tersebut adalah Bumi Resources, Adaro Energy, Golden Energy Mines, Bayan Resources, Bukit Asam, Indika Energy, Kideco Jaya Agung, Berau Coal, ABM Investama, Indo Tambangraya Megah, dan Baramulti Suksessarana.

Sumber data

Informasi tentang prospek produksi batu bara Indonesia dikumpulkan berdasarkan konferensi pers oleh Kementerian ESDM. Kuota produksi batu bara dikumpulkan dari Kementerian ESDM selama rapat dengar pendapat dengan parlemen. Data ekspor batu bara dan konsumsi domestik dikumpulkan dari Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia.

Data produksi batu bara, intensitas energi, dan emisi dari sepuluh perusahaan batu bara besar dikumpulkan dari laporan tahunan dan keberlanjutan perusahaan batu bara. Selain itu, data produksi batu bara perusahaan lain dikumpulkan dari Global Energy Monitor. Untuk perusahaan dengan beberapa bisnis, seperti Bukit Asam, Adaro Energy dan Indika Energy, kami hanya memilih informasi spesifik (termasuk konsumsi energi dan emisi) yang terkait dengan bisnis penambangan batu bara.

Perkiraan CMM

Ember memperkirakan emisi CMM dari enam perusahaan batu bara yang tidak memasukkannya dalam pelaporan emisi. Emisi CMM dihitung dengan mengalikan data produksi batu bara tahunan dengan faktor emisi metana untuk tambang batu bara permukaan sesuai dengan standar nasional dan panduan IPCC.

Saat ini, Indonesia tidak memiliki faktor emisi metana spesifik untuk penambangan batu bara. Oleh karena itu, perusahaan batu bara dapat menggunakan faktor emisi global dari pedoman IPCC atau menggunakan metode Kholod dkk. Kedua metode tersebut sepakat bahwa emisi metana akan meningkat mengikuti kedalaman penambangan. Karena kami tidak memiliki informasi tentang kedalaman tambang setiap perusahaan, kami menggunakan faktor emisi rata-rata untuk tambang batu bara permukaan dari panduan IPCC dan potensi pemanasan global metana sebesar 29,8 dari Laporan Penilaian Keenam.

Standar dan pedoman pelaporan

Di tingkat nasional, Permen ESDM No. 22/2019 memberikan pedoman umum tentang inventarisasi emisi untuk sektor energi. Sumber emisi meliputi pembakaran bahan bakar, emisi fugitif dari pertambangan batu bara dan infrastruktur gas, kebocoran dalam injeksi CO2, dan ventilasi dan pembakaran minyak dan gas.

Khusus untuk sektor batu bara, standar sektor GRI untuk batu bara, pelaporan terkait iklim IFRS dan proyek pelaporan karbon (CDP) memberikan pedoman khusus. GRI memberikan rekomendasi khusus untuk pelaporan emisi GRK. Rekomendasi ini termasuk pelaporan emisi GRK dari CH4 dan pemecahan emisi GRK lingkup 1 berdasarkan jenis sumber (pembakaran stasioner, proses, fugitif). Serupa dengan GRI, IFRS dan CDP juga mengharuskan perusahaan untuk mengungkapkan emisi GRK dan perinciannya. Selain itu, perusahaan perlu menguraikan strategi untuk mengelola emisi dan menetapkan target penurunan emisi.

Standar-standar ini juga selaras dengan GRI 305, protokol GRK, dan ISO 14064 pada inventarisasi emisi.

Ucapan Terima Kasih

Kontributor

Reynaldo Dizon dan Jivan Thiru untuk semua visualisasi data. Rini Sucahyo dan Ardhi Arsala Rahmani yang berkontribusi melalui penyuntingan teks, serta Eleanor Whittle yang mengevaluasi laporan ini.

Kami juga memberikan apresiasi kepada Publish What You Pay (PWYP) Indonesia yang memberikan masukan berharga selama penulisan laporan ini.

 

Gambar sampul

Penambangan batu bara terbuka di Borneo, Indonesia.

Kredit: Ariyanto Ariyanto / Alamy Stock Photo

Bagikan